Siang itu auditorium pemerintah kota hampir dipenuhi penonton maupun peserta konser. Suasana begitu hening. Menikmati alunan musik yang dibawakan oleh jari-jari lincah yang menari-nari diatas tuts piano.
Begitu musik berakhir, keheningan itu kian terasa seolah semua orang menahan nafasnya untuk beberapa detik sebelum sebuah applaus meledak penuh kekaguman.
Yesung berdiri dan membungkuk memberi hormat pada seluruh penonton konser.
” Bagus, Yesung,” Mr Kim menyalami dan menepuk punggungnya begitu dia kembali ke tempat duduknya.
” Gamsahabnida, mr.”
” Apa itu artinya dia akan ikut fetival musik di Kanada bulan depan?” Ahra, sahabat Yesung yang berdiri dibelakang Mr Kim menyela.
Kim mengangkat kedua tangannya, ” Aku tidak pernah menyangka kau akan menjadi seahli ini, Yesung. Dan ya, aku bisa memastikan kau akan mendapatkan kesempatan konser itu.”
Ahra mengangguk, ” Tidak percuma kau latihan terus tiap hari sampai tidak sempat menemaniku lagi.”
” Jangan mengeluh, Ahra. Kau juga selalu memarahiku kalau aku telat latihan. Kadang-kadang, kau ini lebih cerewet dibandingkan eomma. Yesung tertawa.”
” Tapi sekarang aku lapar sekali.” Yesung memegang perutnya.
” Mr Kim. Aku akan keluar sebentar untuk mencari sesuatu.”
” Bukankah setelah ini akan ada makan siang di sini? ” Kim mengernyit.
” Tapi di sini tidak ada pizza,” Ahra yang menyahut.
” Baiklah. Tapi segera kembali ya.”
Kemudian Yesung menyelinap di antara penonton bersama Ahra untuk mencari pizza mereka.
” Aku bersyukur untuk beberapa hari mendatang kau bisa istirahat dengan tenang.”
” Istirahat? Itu tidak akan terjadi, Ahra. Mr Kim tidak akan membiarkan aku beristirahat begitu saja jika ingin aku bisa tampil di Kanada.”
” Kau bukan robot, Yesung. Apa kau tidak bisa istirahat sejenak? Terkadang aku takut melihat obsesimu itu. Kau tidak pernah puas dengan apa yang telah kau capai.”
” Jangan menghina. Aku ini orang yang tau diri. Aku bersyukur dengan apa yang aku capai hari ini. Tapi aku tidak bisa diam dan merasa puas begitu saja bukan? Kalau aku sudah puas dengan apa yang telah aku peroleh selama ini lalu kemudian aku bermalas-malasan, berarti aku sudah mau mati. GAME OVER.”
” Yaaaaak, jangan sembarangan kalau ngomong.”
” Itu kan hanya lelucon. Kau ini tidak bisa diajak bercanda.” Yesung tertawa.
” Kematian bukan lelucon, Yesung.”
Yesung menggamit lengan Ahra ketika mereka akan menyebrang yang terletak tepat di depan auditorium itu. Menuju sebuah restoran siap saji yang siang itu dipenuhi oleh pengunjung.
Baru saja melewati pintu otomatis Yesung mendadak mengaduh dan mencengkram kepalanya.
” Lagi-lagi ini terjadi…”
Rasa sakit yang menyerang kepalanya dengan tiba-tiba. Beribu-ribu jarum seolah ditancapkan bersama menggantikan helai rambutnya. Yesung mendongak, langit-langit restoran tampak berputar-putar cepat di atasnya. Warna yang putih cerah mendadak berubah warna menjadi kelabu, semakin gelap dan akhirnya benar-benar hitam.
” Yesung, Yesung?!” pekik Ahra cemas.
” Yesung! Kau kenapa?”
Yesung masih mencengkram kepalanya. Hal terakhir yang dilihatnya adalah Ahra menggoncang-goncang tubuhnya dengan kasar dan dibantu oleh wajah-wajah tanpa suara yang ikut mengerubutinya dengan raut kebingungan diwajah mereka.
Ya, Tuhan. Apakah dia akan mati?
***** TBC *****